Salah satu saat Muhammadiyah naik di media massa adalah ketika menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan hali ni pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidak patuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga sindiran tidak mau mengikuti Rasullullah s.a.w. yang jelas memakai rukyat al-hilal. Dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada juga yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.
Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits Rasulullah s.a.w. yaitu dari Abu Hurairah RA:
فصوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته وإن غم عليكم فاقدروا له ثلاثين
“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Imam Bukhari dan Muslim).
Dari Hadits tersebut secara gamblang menguatkan penggunaan rukyat dalam menentukan awal puasa atau idul fitri, dan hal itulah yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada Rasulullah s.a.w.
Pertanyaannya lalu, mengapa harus memakai metode hisab?
Secara harfiah, hisab bermakna perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah.
Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha). Nah, berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:
1) Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:
“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)”.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah Indonesia, dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya serta mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Namun bagaimanapun, metode hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.
2) Wujudul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.
Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur’an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra’: 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 39-40.
Benang Merah
Dari keterangan-keterangan diatas, maka kita melihat ada semangat Al Qur’an untuk menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat:
ٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُ بِحُسۡبَانٍ۬
“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (Ar Rahman: 5).
Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ ٱلشَّمۡسَ ضِيَآءً۬ وَٱلۡقَمَرَ نُورً۬ا وَقَدَّرَهُ ۥ مَنَازِلَ لِتَعۡلَمُواْ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلۡحِسَابَۚ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ ذَٲلِكَ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ يُفَصِّلُ ٱلۡأَيَـٰتِ لِقَوۡمٍ۬ يَعۡلَمُونَ
“Dialah (Allah) yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi peredaran bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (wktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”
Jika spirit Qur’an diatas adalah hisab lantas mengapa Rasulullah s.a.w menggunakan rukyat?
Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Maksudnya adalah dalam hal ini yang berlaku adalah kaidah ushul fikih yang mengatakan ‘al-hukmu yadûru ma’a ‘illaitihi wujûdan wa ‘adaman’, dimana saat itu fasilitas yang dimiliki oleh peradaban Islam di Madinah barulah rukyat. Penafsiran ini bisa dihubungkan dengan hadist lain; ‘innâ ummatun ummiyah, lâ naktub wa lâ nahsub’. Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi s.a.w. adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Rasulullah Saw dalam sebuah hadit mengatakan:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تَمَامَ الثَّلاَثِيْنَ
“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)
Pertanyaanya, bukannya hadist diatas justru Nabi menjelaskan bahwa hisab tidak boleh dipakai?
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya illat. Jika ada illat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat.
Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Tahukah kita bahwa dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender?
Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.
Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementaradi kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat.
Perintah rukyat yang diturunkan oleh nabi di hadapan masyarakat Islam Madinah merupakan sebentuk perintah yang lahir sebagai respon atas realitas sosial masyarakat Madinah saat itu. Kebetulan yang dihadapi Rasulullah pada saat itu adalah masyarakat Madinah, maka rukyat dalam pengertian saat itu adalah melihat dengan mata telanjang, karena lebih cocok bagi masyarakat madinah yang berbasis agraris, dan bagi masyarakat petani, fenomena alam merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupannya. (Dr. Susiknan Azhari M.A. dalam bukunya Hisab dan Rukyat, Wacana Untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan)
Penentuan awal bulan hijriyah sudah masuk ke domain aktivitas ta’aqquli (yang bisa diketahui dengan akal), sehingga otomatis rukyat bukanlah ibadah. Dalam ranah pemikiran hadist ada klasifikasi al-sunnah al-tasyri’iyah dan al-sunnah ghairu tasyriiyah. Tidak semua yang datang harus terus diikuti sepanjang masa dan di semua tempat. Bahkan di antara sunnah tersebut ada yang hanya khusus untuk nabi sendiri. Istilahnya itu ada sunnah yang ta’abudi dan sunnah yang ta’aqquli.
Catatan:
Muhammadiyah memang menarik, dimana Muhammadiyah dengan semangat pembaharuan (tajdid) nya meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah salah satu wasîlah yang bisa digunakan untuk beribadah, sehingga dimensi normatif dari nash-nash al-Quran bisa selalu dikaitkan dengan dimensi ideal peradaban manusia.
Dalam tataran teoritis Muhammadiyah memang meletakkan hisab dan rukyah secara sejajar. Hanya saja dalam wilayah praksis, Muhammadiyah memandang bahwa hisab sudah cukup mewakili sehingga rukyah jarang sekali dipraktekkan.
Kecendrungan untuk meletakkan hisab lebih tinggi dari rukyah dalam Muhammadiyah sebenarnya sudah ada sejak jauh-jauh hari. Namun belakangan kecendrungan ini semakin menguat melalui terbitnya buku terbaru ketua Majelis Tarjih dan Tajdid yang berjudul “Hisab Awal Bulan Kamariyah Perspektif Muhammadiyah” yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah. Di samping karena hisab itu sudah sangat qathiy (disebut ‘sudah’ karena pernah tidak qathiy dalam Muhammadiyah), juga karena berdasarkan prinsip dalil-dalil syari’, hisab cenderung lebih kuat dari pada rukyah.
Keberanian Muhammadiyah untuk memegang konsep ini sebenarnya tergolong revolusioner karena di beberapa negara arab sendiri kecendrungannya masih bermacam-macam. Arab Saudi sampai detik ini masih berjuang untuk terlepas dari kungkungan konservatisme dan skriptualisme. Mesir baru sampai kaidah “al-hisâb al-daqîq lâ yata’ârad ma’a al-ruqyah al-sahihah”.
Hisab terlalu pasti (qathiy) untuk ditolak; qathiy min haistu ad-dalil al-syari (dari segi dalil syari) wa min haistu natijah (dari segi konklusi matematis). “al-shaumu wa’l fitru bil rukyah, wa lâ mânia bil hisâb” (Puasa dan berbuka dengan cara rukyah, akan tetapi tidak masalah jika menggunakan hisab).
Referensi:
Wah.jadi bingung ana.kalo seluruh dunia harus bareng lebaran nya gimana caranya,bukan nya bumi bulat?kan ada perbedaan waktu,terus menyamakan nya bagaimana?
SukaSuka
Bumi memang ada perbedaan waktu sebeda dengan jalannya bumi berotasi pada porosnya. Nggak usah bingung, toh ada Pemerintah kalau ragu-ragu. Dengan rukyat akan terus membuat kemungkinan perbedaan hari raya, belum lagi perbedaan pendapat dengan ukuran tinggi (altitude) hilal. Oleh karenanya saya (pribadi) lebih cenderung kepada hisab, karena dengan hisab bisa menyeragamkan perbedaan, sebagaimana kita menyeragamkan Tahun Baru Hijriyyah. Adakah kita yang menyeragamkan Tahun Baru 1 Muharram dengan rukyat?
SukaSuka
Dalam artikel ini di sebutkan
Bahwa nabi dan umat nya saat itu tidak bisa ilmu hisab,terus yg memberi tahu tentang ilmu itu siapa???
SukaSuka
Ilmu Hisab khususnya dibidang Astronomi di zaman Nabi belum berkembang pesat. Yang jelas sumber segala ilmu adalah dari Allah, dan pada zaman itu betul-betul belum digunakan banyak ilmu hisab ini. Contohnya, membuat system perhitungan kalender yang dapat kita gunakan hingga saat ini. Syetem Kalender Islam digunakan setelah Nabi wafat, yaitu di masa Khulafur Rasyidin, atas usulan Umar Bin Khattab r.a.
SukaSuka
Boleh ijin di share pak? Makasiy banyak pak..
SukaSuka
Silahkan …
SukaSuka
trims pak, sy sedang bingung sebenarnya krn sedang jauh dg keluarga. Keluarga menyampaikan bhwa d Indonesia terjadi perbadaan lagi dan dsini pun perbedaan itu juga ada (perth) antara yg berhari raya tgl 30 maupun 31. Bila dibandingkan dg penyelenggara sholat yg belum terdeteksi di sekitar kos (shg sy pun blm tahu apakah dimana sy sholat ied besok), berakhirnya bulan romadhon itu sangat penting utk sy ketahui sbg akhir waktu berpuasa. Akhirx, tulisan ini kembali meyakinkan diri sy utk mengikuti hsl hisab kembali.
SukaSuka
Adalah Nabi Muhammad saw dalam beberapa hadisnya menyatakan bahwa umur bulan itu 29 hari atau terkadang 30 hari. Jadi orang yang berpuasa 29 hari dan berlebaran besok adalah sah karena sudah berpuasa selama satu bulan.
Secara astronomis, pada hari ini, Senin 29 Agustus 2011, Bulan di langit telah berkonjungsi (ijtimak), yaitu telah mengitari bumi satu putaran penuh, pada pukul 10:05 tadi pagi waktu Indonesia Barat (atau hitung sendiri waktu Perth Australia). Dengan demikian bulan Ramadan telah berusia satu bulan. Dalam hadis-hadis Nabi Muhammad saw, antara lain bersumber dari Abu Hurairah dan Aisyah, dinyatakan bahwa Nabi saw lebih banyak puasa Ramadan 29 hari daripada puasa 30 hari. Menurut penyelidikan Ibnu Hajar, dari 9 kali Ramadan yang dialami Nabi Muhammad, hanya dua kali saja beliau puasa Ramadan 30 hari. Selebihnya, yakni tujuh kali, beliau puasa Ramadan selama 29 hari.
Mengenai dasar penetapan Idul Fitri yang jatuh pada hari Selasa 30 Agustus 2011 adalah hisab hakiki wujudul hilal dengan kriteria
(1) Bulan di langit untuk bulan Ramadan telah genap memutari Bumi satu putaran pada jam 10:05 WIB Senin hari ini,
(2) genapnya satu putaran itu tercapai sebelum Matahari hari ini terbenam, dan
(3) saat Matahari hari ini nanti sore terbenam, Bulan positif di atas ufuk.
Jadi dengan demikian, kriteria memasuki bulan baru telah terpenuhi. Kriteria ini tidak berdasarkan konsep penampakan. Kriteria ini adalah kriteria memasuki bulan baru tanpa dikaitkan dengan terlihatnya hilal, melainkan berdasarkan hisab terhadap posisi geometris benda langit tertentu. Kriteria ini menetapkan masuknya bulan baru dengan terpenuhinya parameter astronomis tertentu, yaitu tiga parameter yang disebutkan tadi.
Mengapa menggunakan hisab, alasannya adalah:
1) Hisab lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan,
2) Hisab mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin dilakukan dengan rukyat. Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO tahun 2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.
Di pihak lain, rukyat mempunyai beberapa problem:
1) Tidak dapat memastikan tanggal ke depan karena tanggal baru bisa diketahui melalui rukyat pada h-1 (sehari sebelum bulan baru),
2) Rukyat tidak dapat menyatukan tanggal termasuk menyatukan hari puasa Arafah, dan justeru sebaliknya rukyat mengharuskan tanggal di muka bumi ini berbeda karena garis kurve rukyat di atas muka bumi akan selalu membelah muka bumi antara yang dapat merukyat dan yang tidak dapat merukyat,
3) Faktor yang mempengaruhi rukyat terlalu banyak, yaitu:
(a) faktor geometris (posisi Bulan, Matahari dan Bumi),
(b) faktor atmosferik, yaitu keadaan cuaca dan atmosfir,
(c) faktor fisiologis, yaitu kemampuan mata manusia untuk menangkap pantulan sinar dari permukaan bulan,
(d) faktor psikologis, yaitu keinginan kuat untuk dapat melihat hilal sering mendorong terjadinya halusinasi sehingga sering terjadi klaim bahwa hilal telah terlihat padahal menurut kriteria ilmiah, bahkan dengan teropong canggih, hilal masih mustahil terlihat.
Memang perlu dilakukan upaya untuk menyatukan sistem penanggalan umat Islam agar tidak lagi terjadi perbedaan-perbedaan yang memilukan ini.
Salah satunya adalah kita harus berani beralih dari rukyat (termasuk rukyat yang dihisab) kepada hisab.
Di zaman Nabi saw rukyat memang tidak menimbulkan masalah karena umat Islam hanya menghuni Jazirah Arab saja dan belum ada orang Islam di luar jazirah Arab tersebut. Sehingga bila bulan terlihat atau tidak terlihat di jazirah Arab itu, tidak ada masalah dengan umat Islam di daerah lain lantaran di daerah itu belum ada umat Islam.
Berbeda halnya dengan zaman sekarang, di mana umat Islam telah menghuni seluruh penjuru bumi yang bulat ini. Apabila di suatu tempat hilal terlihat, maka mungkin sekali tidak terlihat di daerah lain. Karena tampakan hilal di atas muka bumi terbatas dan tidak meliputi seluruh muka bumi.
Wallahu ‘Alam :)
SukaSuka
assalamu’alaikum…
mohon maaf pak, saya orang awam….
ada beberapa pertanyaan :
1. tentang kawasan yg tak bisa rukyah… maksudnya utk selamanya di kawasan itu tak bisa rukyah ya pak… mohon kasih contoh di mana saja itu pak… artinya, kalo pake sistem rukyah, berarti di sana selamanya awal puasa dan lebarannya selalu terlambat…
2. utk kasus lebaran 1432 H sekarang… katanya di bawah 2 derajat gak mungkin bisa di rukyah… knpa ada di dua kota yang mengaku bisa merukyah walopun ditolak oleh MUI… apakah org ini benar2 melihatnya ato berbohong ato jgn2 MUI nya yg salah… mohon penjelasan
3. jika benar seluruh indonesia gak bisa merukyah hilal pada 29 ramadan kemarin, kenapa malaysia menyatakan berhasil merukyah di 30 lokasi, begitu juga negara2 arab seperti arab saudi, mesir, bahrain, qatar, uae dll…
4. selain indonesia, apakah ada negara2 lain yang merayakan idul fitri ato idul adha berbeda….
5. terima kasih atas pencerahannya
SukaSuka
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh Mas Arif :)
Jawab #1:
Kawasan yang tidak bisa dipakai untuk rukyah adalah semua kawasan yang memiliki visibiltas rendah. Sedangkan Kawasan atau Tempat yang bisa dipakai untuk rukyah adalah daerah yang masuk dalam ‘agreement’ wilayatul hikmi (wilayah hukum) yang telah disepakati khususnya oleh pemerintah yang berkuasa (ulil amri) dan tingkat visibilitasnya (penglihatan) tinggi.
Contoh tempat yang tidak bisa dipakai untuk rukyah berarti tempat atau daerah yang banyak ‘handicap’ atau banyak halangan, atau yang banyak faktor dalam mempengaruhi visibiltas penglihatan.
Adapun faktor yang mempengaruhi visibiltas seperti banyaknya lampu kota, banyaknya kabut/awan, banyaknya debu/asap, bangunan selain faktor cahaya matahari, gangguan atmosfer, dan kemampuan mata manusia itu sendiri dalam melihat :)
Kalau mau melihat hilal secara kasat mata (tanpa bantuan optik) tinggi angulasi derajatnya biasanya diangka 7 derajat dan umur hilalnya 8 jam – 10 jam. Cantik sekali kalau pernah melihat…
Begitu kira-kira penjelasan saya, sehingga bisa disimpulkan sendiri mana-mana tempat yang bisa dipakai rukyah atau tidak bisa dipakai untuk rukyah.
Kalau daerah yang sering terlambat ‘melihat datangnya bulan’ hahaha, itu dalam menentukannya harus dipola (di-modeling, atau disimulasikan). Hitungan matematiknya banyak menggunakan fungsi turunan (pakai integral segala) dan untuk mempermudahnya bisa menggunakan aplikasi software. Contohnya bisa dilihat di http://www.rukyatulhilal.org kalau tidak salah. SIlahkan dicek sendiri.
Jawab #2:
Betul, seperti penjelasan saya diatas dibawah 2 derajat memang sulit untuk dilihat, bahkan dengan bantuan alat optik, namun secara teori bulan tersebut telah wujud.
Merukyah itu Secara astronomis bisa bil fi’ili, bil ain, bil ‘ilmi, atau bi qalbi, konsepnya sama saja, yaitu merujuk pada kriteria visibilitas hilal.
Dalam kasus Hari Raya Idul Fitri 1432H yang kita bisa lihat di TV saat sidang Istbat, ada usulan untuk mempertimbangkan hasil rukyat yang dilakukan di Cakung & Jepara, dengan cara mengkonfirmasi dan mendatangkan/mengundang mereka untuk dimintai keterangan. Tetapi itu tidak dilakukan oleh Pemerintah.
Jika mereka berani disumpah dihadapan hakim yang ditunjuk (misalnya Pemerintah) maka kesaksian mereka bisa diterima dan kita berhari raya tanggal 30 Agustus 2011. Namun saat itu MUI langsung memutuskan untuk menolak dengan alasan-alasannya.
Jawab #3:
Kementrian/Jabatan Islam Kerajaan Malaysia sebenarnya menggunakan sistem Hisab seperti yang dilakukan/diusulkan Muhammadiyah, selain Libya dan ummat Islam di Amerika Serikat.
Indonesia adalah posisinya di Katulistiwa paling Timur, jadi adalah mungkin hilal tidak terlihat (namun dalam hisab sudah wujud) sehingga setalah selisih 4 jam di Timur Tengah bisa terlihat.
Jawab #4:
Selain Indonesia yang berbeda merayakan idul fitri tahun ini (1432H) adalah Oman, dan Afrika Selatan. Coba dicek lagi deh kalau saya salah (pake Google bisa…)
Mohon Maaf Lahir Batin
Semoga Allah menerima Amal Ibadah kita semua.
SukaSuka
mohon dalil yang menunjukkan bahwa secara dalil/nash hisab lebih kuat dr rukyat setahu saya dalil rukyat lebih kuat dan qathi> rukyat lebih kepada penglihatan mata, bukan pada posisi aktual> bukankah ayat tentang hisab turun kepada rasulullah, tetapi mengapa beliau tetap menggunakan metode rukyat<
SukaSuka
Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan).
Maksudnya adalah dalam hal ini yang berlaku adalah kaidah ushul fikih yang mengatakan ‘al-hukmu yadûru ma’a ‘illaitihi wujûdan wa ‘adaman’, dimana saat itu fasilitas yang dimiliki oleh peradaban Islam di Madinah barulah rukyat.
Penafsiran ini bisa dihubungkan dengan hadist lain; ‘innâ ummatun ummiyah, lâ naktub wa lâ nahsub’. Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi s.a.w. adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab.
Rasulullah Saw dalam hadist tersebut mengatakan:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تَمَامَ الثَّلاَثِيْنَ
“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya illat. Jika ada illat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat.
Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi.
Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana.
Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Kalau metode hisab untuk menentukan wujudul hilal itu berdasarkan semangat dalam Al Qur’an Surat (QS) Yunus: 5, QS. Al Isra’: 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 39-40.
Disitu jelas kita melihat ada semangat Al Qur’an untuk menggunakan hisab, seperti dalam ayat:
ٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُ بِحُسۡبَانٍ۬
“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (Ar Rahman: 5).
Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak sekali kegunaannya. Salah satunya dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ ٱلشَّمۡسَ ضِيَآءً۬ وَٱلۡقَمَرَ نُورً۬ا وَقَدَّرَهُ ۥ مَنَازِلَ لِتَعۡلَمُواْ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلۡحِسَابَۚ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ ذَٲلِكَ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ يُفَصِّلُ ٱلۡأَيَـٰتِ لِقَوۡمٍ۬ يَعۡلَمُونَ
“Dialah (Allah) yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi peredaran bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (wktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”
Sebagai seorang muslim, kita harus belajar bahwa penentuan awal bulan hijriyah (yang berarti juga penentuan akhir bulan qamariyah) sudah masuk ke domain aktivitas ta’aqquli (yang bisa diketahui dengan akal), sehingga otomatis rukyat bukanlah ibadah (Mohon dikoreksi jika saya salah)
Dalam ranah pemikiran hadist ada klasifikasi “al-sunnah al-tasyri’iyah” dan “al-sunnah ghairu tasyriiyah.” Artinya, tidak semua yang datang harus terus diikuti sepanjang masa dan di semua tempat. Bahkan di antara sunnah tersebut ada yang hanya khusus untuk nabi sendiri. Istilahnya itu ada sunnah yang ta’abudi dan sunnah yang ta’aqquli.
Jadi, perintah rukyat yang diturunkan oleh nabi di hadapan masyarakat Islam Madinah merupakan sebentuk perintah yang lahir sebagai respon atas realitas sosial masyarakat Madinah saat itu.
Kebetulan yang dihadapi Rasulullah pada saat itu adalah masyarakat Madinah, maka rukyat dalam pengertian saat itu adalah melihat dengan mata telanjang, karena lebih cocok bagi masyarakat madinah yang berbasis agraris, dan bagi masyarakat petani, fenomena alam seperti ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan pada sosial masyarakat saat itu.
Akhirnya, hisab bisa jadi terlalu pasti (qath’iy) untuk ditolak; qath’iy min haistu ad-dalil al-syari (dari segi dalil nan syari) wa min haistu natijah (dan dari segi konklusi matematis).
Terakhir, “al-shaumu wa’l fitru bil rukyah, wa lâ mânia bil hisâb” (Puasa dan berbuka dengan cara rukyah, akan tetapi tidak masalah jika menggunakan hisab).
Demikian, dan tetap semangat dalam Islam :)
SukaSuka
qt hrus mengikuti smw yg rasul lakukan,,.tu keinginan sprti keinginan menggunakan rukiat.klw bgitu keinginan pnya bnyk istri jg hrus di ikuti. maav bila da yg slah mohon d benarkan.
SukaSuka
Betul!
Kita harus mengikuti Rasulullah saw sebagai suri tauladan.
Sebagai ummat Islam kita harus pandai dan lebih unggul daripada golongan ahli kitab, karena kita adalah ‘kahirun ummah’.
Kita harus banyak belajar, selain mengaji juga harus mengkaji, meneliti, mengobservasi, membagikan kepada ummat, meminta feedback, bermusyawarah, diskusi, dan bergerak untuk kemajuan Islam.
Soal kawin lagi, itu urusan pribadi dan selera masing-masing dong. Namun harus diketahui bahwa dalam ranah hadist (kelakuan, kata, atau tabiat sahabat yang diamini oleh nabi) ada istilah: al-sunnah al-tasyri’iyah (sunnah yang memang harus diikuti) dan al-sunnah ghairu tasyriiyah (sunnah yang tidak perlu diikuti).
Contoh sunnah ghairu tasyriiyyah ya, sunnah-sunnah yang khusus untuk Nabi atau yang berlaku pada saat itu.
Contoh ringan misalnya, pernah dengar seorang sahabat yang melakukan hubungan suami istri ketika bulan puasa?
Keputusan tentang hukum harus mengganti dengan puasa berturut-turut tanpa batal selama 2 bulan adalah sunnah tasriiyyah dan harus dipatuhi oleh seluruh ummat Islam, termasuk memberi makan 60 fakir miskin per satu harinya.
Namun kemudian Nabi meminta sahabat untuk mengumpulkan makanan/kurma kemudian memberikannya kepada orang itu adalah sunnah ghairu tasriiyyah, atas pertimbangan kemanusiaan karena orang tersebut paling miskin dikampungnya pada saat itu. Begitu kira-kira, wallahu ‘alam …
So, bijaksanalah kita dan jangan berlebih lebihan… Tetap semangat dalam berIslam…. :)
SukaSuka
referensi anda bukan pada pendapat ulama2 yang mu’tabarah dan tsiqaah< coba rujuk ulama empat mazhab< setahu saya ulama salafussalhih, ulama sekaliber ibnu taimiyah (yang selalu menjadi rujukan utama muhammadiyah dalam ibadah) malah membid"ahkan hisab lalau bagaiaman anda menilai hadis shahi “hari berpuasamu ketika manusia berpuasa, hari iedmu hari dimana manusia beried> jadi urusan ied itu urusn kaum muslimin yang harus diserahkan urusann pada kaum muslimin secara jamaah< bukan urusan organisasi< urusan ibadah tunduk kepada dalil yang shahih dan pemahaman yg shahih, bukan utak-atik ayat yang sifatnya global dan berputar-putar kaidah ushul yang tidak jelas. wallahu a'lam
SukaSuka
Tentang masalah hisab ini Muhammadiyah memang paling ‘depan’ di Indonesia saat ini. Muhammadiyah hanyalah organisasi pembaharuan yang mengedepankan Islam dengan semangat anti taqlid yang berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah.
Penjelasan tentang hisab yang disampaikan Muhammadiyah memang tidak ‘mengada-ada’, dan dulu Muhammadiyah ‘pernah’ tidak menggunakan metode hisab secara mutlak seperti saat ini.
Ibnu Taimiyyah memang menjadi rujukan Muhammadiyah apalagi yang menyangkut tentang ‘tauhid’ dalam hal ibadah kepada Allah, namun dalam hal metode perhitungan hisab yang dipakai untuk menentukan wujudul hilal, Muhammadiyah mengadopsi teknologi matematis yang komprehensif dan terkini sesuai dengan semangat yang diambil dari Al Qur’an. Pengetahuan & Teknologi di dunia ini adalah washilah dari Qur’an.
Saya tidak mendahului Allah, namun ada ‘kecenderungan’ ummat Islam akan menggunakan metode hisab di tahun-tahun yang akan datang, untuk menyatukan ummat Islam dalam berhari ibadah (tidak hanya hari raya, masalah ini juga akan timbul saat menentukan puasa arofah, kita lihat saja)
Indonesia bukan negara Islam, dan Indonesia tidak pernah menciptakan Muhammadiyah sebagaimana Indonesia ‘menciptakan’ organisasi-organisasi Islam lainnya. Justru organisasi / ormas-ormas Islamlah termasuk Muhammadiyah dan NU yang membangun negara Republik Indonesia ini.
Negara di dunia saat ini yang mengadopsi Hisab mutlak seperti Muhammadiyah adalah Amerika Serikat, Libya, dan Malaysia.
Tentang Haramnya kita berpuasa di 1 syawwal, ada baiknya kita membaca bukunya Sayyid Sabiq tentang Fiqh dalam Bab Puasa. Disitu ada hadist yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, kalau Nabi pernah bertemu dengan sekelompok orang yang bersaksi telah melihat hilal, sedangkan saat itu Nabi sedang istikmal (membulatkan) bilangan puasa.
Nabi tidak menanyakan detail profesi mereka apa? Kapasitasnya sebagai apa? Atau pertanyaan-pertanyaan teknis tentang hilal. Beliau hanya menuntut mereka apakah berani disumpah dan merekapun mau disumpah. Setelah itu Nabi membatalkan puasa dan mengumpulkan orang-orang untuk melakukan sholat Ied. (Mohon dicek sendiri hadist tersebut ada dalam Buku Fiqh karya Sayyid Sabiq, dan jika kesulitan nanti saya bantu).
Saya sependapat bahwa penentuan hari-hari besar Islam termasuk awal puasa, akhir ramadhan haruslah merupakan keputusan yang bersifat kolektif. Idealnya memang harus dilakukan oleh pemerintah/penguasa. Namun Indonesia ini majemuk, yang membangun Indonesia juga majemuk. Uniknya lagi Indonesia bukan negara yang berdasarkan syari’ah, dan tidak punya dewan syari’ah.
MUI dulu didirikan untuk menjadi dewan syari’ahnya ummat Islam di Indonesia yang memberikan fatwa-fatwa umum kepada Ummat oleh Buya Hamka. Namun saat itu juga terjadi ‘clash’ dengan pemerintah Indonesia, dalam kasus memberikan ucapan selamat hari raya antara Non Muslim dan Muslim, yang akhirnya Buya Hamka memilih untuk keluar sebagainana do’anya Musa & Harun keluar dari Bani Israil yang degil.
Sebab itu adalah tugas kita tunas-tunas muda Islam untuk memberikan warna ummat Islam Indonesia sebagai agama yang ‘aalin walaa yu’la alaihi’.
Diskusi boleh namun jangan sampai membuat kita pecah belah :)
SukaSuka
sayang komentar ini udah 7 th yl saya baru menemukan artikel ini. kpd sdr Kusnadi yang dlm pandangan saya beliau pengikut mazhab Syafi’i, sbg pijakan dan analogi dlm hadits sudah nyata2 disebutkan bid’ah itu hanya dholalah tetapi kenapa sebagian ulama setelah Imam Syafi’i bid’ah itu ada yg hasanah ? Bid’ah Hasanah nyata2 bertentengan dg nash Hadits bahkan tdk ada pijakan sama sekali dari Al Qur’an, berbeda dg Hisab pijakan Al qur’anya banyak. Munculnya konsep bid’ah hasanah dari mana kalau bukan dari ushul fiqih ? Saya rasa sama saja dalil tentang rukyat pun oleh Penulis diatas dibedah berdasarkan ushul fiqih bahkan disemangati oleh dalil al Qur’an.
SukaSuka
subhanallah artikel ini seperti film ‘sang pencerah’ sungguh Islam itu indah dan mudah (tp bukan untuk dipermudah tidak juga di persulit) Wallahu’alam bishowab, jazakallah :)
SukaSuka
:)
Tidak segitunya kali…
Hadzaa Min Fadli Robbii
(^_^
SukaSuka
Tidak segitunya kali…
Hadzaa Min Fadli Robbii
(^_^)
Terima kasih telah mampir ke sini.
SukaSuka
tolong kalo ngeluarin dalil ( ayat al Qur’an atau Hadist )
sertakan pula asbabun-nuzul dan ashbabul-wurudnya agar tidak terkesan defend (membela diri).
sekalian siapa perawinya (hadist).
jangan seperti hukum (undang2-undang) di Indonesia, burem!!!
yang salah bisa selamat,
yang ga punya duit masuk buimeski tidak melakukan kesalahan.
dan yang paling penting untuk mewujudkan persatuan ummat yang ente gemborkan juga, Oke???
just to remaind,
jika salah menganmbil keputusan lalu diikuti ummat,
maka bersiaplah mempertanggung-jawabkannya di yaumil hisab.
dan berhadapan dengan Robbul-Jaliil, Allohu subhaanahu wata’ala.
SukaSuka
Alhamdulillah, terima kasih atas masukkanya…
Insya Allah sudah saya masukkan perawi hadistnya, kalau nomer hadist mesti buka kitab lagi.
Kalau Asbabun Nuzul atau Wurud mesti lihat-lihat atau disesuaikan dengan konteksnya. Tidak semua ayat Al Qur’an ada Asbabun Nuzulnya.
Hukum Allah memang lebih pasti, sebab Allah adalah hakim yang seadil-adilnya. Alaisa Allahu bi akhsanil hakimiin…
Betul setiap keputusan dan tindakan kita pasti akan dimintai pertanggungan jawab. Inna Sam’a wal Bashara wal Fu’aada, Kullu ulaaika kaana anhu mas’ulaa (Al Isra’ 36)
SukaSuka
walaupun telat minta ijin….saya ijin berbagi dengan teman2…
SukaSuka
Silahkan…
Semoga bermanfaat.
SukaSuka
Sehubungan dengan hal tersebut, syariat telah menetapkan bahwa untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan itu dengan 2 cara:
1. Ru’yatul hilal (melihat hilal dengan mata). Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”
Juga hadits yang terdapat dalam Shahihain, dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhu , Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya”
2. Jika hilal tidak nampak, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوماً
“(Jika hilal tidak tampak), genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari”
Para Ulama Telah Ber-Ijma
Para ulama telah ber-ijma‘ bahwa dua metode ini lah yang dipakai, dan mereka tidak pernah memperselisihkan lagi. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Baari (4/123), mengatakan:
وقال ابن الصباغ أما بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله الإجماع على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع الصحو لا يجب بإجماع الأمة
“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan‘. Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama‘”
Lalu orang-orang membuat metode baru dalam masalah ini, yang tidak diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjadikan hisab falaki (perhitungan astronomis) sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadhan. Penggunaan metode ini dalam hal menentukan 1 Ramadhan adalah metode yang baru yang bid’ah dan haram hukumnya, disebabkan beberapa hal di bawah ini:
Pertama, metode ini bertentangan dengan banyak nash yang membahas tentang cara menentukan masuknya Ramadhan, yaitu dengan salah satu dari dua cara di atas
Kedua, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat beliau dan para tabi’in, tidak pernah menggunakan metode ini padahal ilmu hisab falaki sudah ada di masa mereka. Kaidah mengatakan, setiap sarana yang mampu dimanfaatkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun mereka tidak memanfaatkannya, maka hukum memanfaatkan sarana tersebut di zaman ini adalah bid’ah. Sebagaimana sudah dijelaskan oleh Syaikhul Islam di kitabnya, Iqtidha Shiratil Mustaqim.
Ketiga, para ulama telah ber-ijma‘ untuk tidak menggunakan metode hisab falaki dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Sebagaimana yang dikatakan Ibnul Mundzir dan Ibnu As Sabbagh yang disebut oleh Ibnu Hajar di atas, juga Ibnu ‘Abdil Barr, Abul Walid Al Baaji dan Ibnu Taimiyah.
Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (14/325) menuturkan:
ولم يتعلق أحد من فقهاء المسلمين – فيما علمت – باعتبار المنازل في ذلك ، وإنما هو شيء روي عن مطرف بن الشخير وليس بصحيح عنه – والله أعلم – ولو صح ما وجب اتباعه لشذوذه ولمخالفة الحجة له ، وقد تأول بعض فقهاء البصرة في معنى قوله في الحديث فاقدروا له – نحو ذلك . والقول فيه واحد ، وقال ابن قتيبة في قوله: فاقدروا له . أي فقدروا السير والمنازل وهو قول قد ذكرنا شذوذه ومخالفة أهل العلم له ، وليس هذا من شأن ابن قتيبة ، ولا هو ممن يعرج عليه في هذا الباب
“Tidak ada satupun ahli fiqih, sepengetahuan saya, yang mengaitkan masuknya Ramadhan dengan posisi bulan. Memang hal ini (metode hisab) berasal dari hadits yang diriwayatkan dari Mathraf bin Asy Syukhair, namun tidak shahih, wallahu’alam. Andaikan hadits tersebut shahih, ia harus memiliki mutaba’ah karena syadz dan bertentangan dengan dalil yang lain. Sebagian ahli fiqih dari Bashrah ada yang memaknai lafadz hadits فاقدروا له (‘Perkirakanlah’), maksudnya adalah ‘perkirakanlah sekitar itu‘. Artinya, pendapat para ulama dalam hal ini hanya satu saja (tidak ada perselisihan). Adapun yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah bahwa makna فاقدروا له adalah ‘perkirakanlah orbit dan posisi bulan‘, ini adalah pendapat yang nyeleneh dan bertentangan dengan para ulama. Permasalahan ini bukanlah bidangnya Ibnu Qutaibah. Beliau bukanlah orang yang kompeten dalam masalah ini (fiqih)”.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (25/132) berkata:
فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإبلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلاً ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيداً بالإغمام ومختصاً بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم ا.هـ
“Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah haram. Banyak nash dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian”.
Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (4/127) berkata:
وقد ذهب قوم إلى الرجوع إلى أهل التسيير في ذلك وهم الروافض، ونقل عن بعض الفقهاء موافقتهم. قال الباجي: وإجماع السلف الصالح حجة عليهم ا.هـ
“Sebagian orang ada yang merujuk pada para ahlut tas-yir (penjelajah) dalam masalah ini, yaitu kaum syi’ah rafidhah. Sebagian ahli fiqih pun ada yang membeo kepada mereka. Al Baaji berkata: ‘Ijma salafus shalih sudah cukup sebagai bantahan bagi mereka’”.
SukaSuka
Alhamdulillah;
Tentang ‘bid’ahnya’ metode penentuan awal bulan ramadhan dengan metode hisab memang banyak yang mendukung, dan bahkan ada kelopok yang mencap sebagai ‘ingkar sunnah’ karena tidak sejalan dengan apa yang dilakukan Rasulullah saw.
Persoalannya apakah penentuan ‘awal’ dan penentuan ‘akhir’ tersebut termasuk dalam hal ranah ibadah? seperti kita melakukan ibadah puasa tersebut atau melakukan sholat, atau melakukan haji?
Jika bid’ah tersebut dalam rana ibadah sudah pasti akan tertolak, dan itu memang hak Allah untuk menolak dan menerima. Namun bagaimana dengan bid’ah dalam hal metodenya dalam menentukan waktu ibadah?
Analoginya, sebelum ditemukan jam dengan jadwal waktu sholatnya, maka apakah perhitungan penentuan daftar waktu sholat saat itu adalah masuk dalam kategori bid’ah? karena zaman Rasulullah belum ada jam dan perhitungan waktu sholat seperti saat ini? Toh bisa saja kita melihat sendiri fajar shadiq untuk waktu subuh, setinggi bayang bayang untuk waktu ashar, mentari tenggelam untuk maghrib dan hilangnya warna tembaga untuk waktu isya’, meski kadang cuaca menghalanginya.
Islam saat ini tidak hanya mendominasi kawasan jazirah Arab atau wilayah timur tengah saja, posisi negara di lintang 20 derajat akan ‘sering’ mengalami keterlambatan 1 hari jika rukyat benar-benar dijalankan, tanpa ada penyatuan sistem dengan hisab.
Hisab disini bukan hisab tanpa ilmu, atau hisab tanpa shar’i. Namun hisab yang diperuntukkan untuk mendukung rukyah meskipun mata tak memandang. Hisab yang dimaksud adalah seperti kita menghitung keliling lingkaran, hanya dengan mengetahui radius lingkaran tersebut tanpa harus mengukur lingkaran tersebut dengan penggaris atau alat ukur. Bukankah kedua metode tersebut sama?
Mengambil istilah KH. Mustafa Bisri ketika ditanya tentang apakah qunut subuh adalah bid’ah, maka jawaban beliau, apakah bisa kita menyamakan isi dalam kepala manusia? Kalau menyamakan sesuatu yang diluar kepala manusia, itu mudah. Jika rambut tak sama, mungkin kita bisa mengecatnya agar sama. Jika kepala mesti berpeci, maka jelas kita akan buatkan peci bersama, namun kalau isi fikiran manusia, bagaimana kita bisa menyamakan? Itupun hanya Allah saja yang bisa segalanya.
Akhirnya; saya tidak mendukung kelompok manapun dan ini sejalan dengan pengetahuan saya dan saya katakan jika semua tulisan ini karena loyalitas saya terhadap agama Islam dan Allah, maka titik permasalahannya sebenarnya kita kurang faham tentang ‘wujudul hilal’ yang sangat bisa untuk dihitung/dihisab. Dan, terakhir… Bukankah menghitung itu sama saja dengan rukyah (melihat) dalam arti keilmuan? Apakah bisa diterima rukyah tanpa ilmu? Itu saja…
Insya Allah pemahaman ummat Islam dimasa yang akan datang akan semakin terbuka sejalan dengan pengetahuan yang ada bersama dengan perkembangan teknologinya.
SukaSuka
bungN analogi qiyas anda tidak tepat, qiyas ma”al fariq, berbeda, jam, pesawat, laptop, internet itu bukan bi’dah, sgl sesuatu yang wajib apabila tidak didukung sarana sehingga tidak sempurna wajib itu maka wajib jugalah sarana itu. ini jelas kaedahnya. saya cuma mengajak kita mendalami nash-nash primer, arus utama pendapat ulama salaf secara ilmiah (sebagaimana spirit utama kelahiran muhammadiyah) dalam mengkaji telah permasalahn agama. bukan dengan mengambil ayat-ayat bersifat umum ttg hal itu> ayat2 ttg ilmu spt yang bung sitir itu tdk memberikan hujjah yang sharih bolehnya digunakan hisab dalam menentukan ied dan puasa, karena bertentangan dengan nash yang shahih dan sharih tentang rukyat. Jadi kita butuh dalil yang tegas. Mengapa kita bisa ilmiah dalam mengkaji data-data penelitian dikampus, tetapi dihadapan nash kita tidak lagi mengkritisi validitas data dan sumber pendapat/kesimpulan kita. Dari segi ilmiah, data dan petunjuk tentang ru’yah itu sharih dan shahih, lebih rajih. Belum adanya hikmah yang ditemukan rahasia kenapa harus rukyat, bukan alasan mengatakan rukyat out of date.
Apakah kita menuduh Allah swt tidak tahu masa depan sehingga rasulullah tidak diberi petunjuk utk menggunakan hisab, padahal saat itu ilmu hisab sdh dikenal spt yang digunakan oleh bangsa romawi dan persia. Dari sisi mana kita bisa berpendapat bahwa illat dikatakan perintah rukyat karn belum adanya ilmu hisab. lagi2 pendapat itu butuh sumber, datanya nash dari mana? mengkhusushkan dalil yang umum ke khusush atau sebaliknya butuh dalil. Atau apakah kita menggapap hadits tentang rukyah itu lokal, temporer, parsial dan spasial? ini butuh dalil yang tegas bung, bukan dengan rasa2nya. Ini sama dengan mengatakn jilbab juga lokal budaya arab. Mengartikan ru”yah dengan “melihat dng ilmu” hisab juga butuh pertanggungjawaban ilmiah bung, baik secara bahasa arab maupun pemahaman nash yang sharih. Adanya masyarakat yang majemuk di indonesia, bukan alasan bagi kita untuk mengatakan kita tdk perlu taat pada waliyyul amri, siapapun pemerintah kita, bukankah kita telah menyerahkan urusan2 kita kepada mereka. Apakah pemeritnah sekarang sdh masuk kategori waliyyul amri yang tidak perlu diatati dalam urusan kaum muslimin?. lagi2 butuh argumen. Dulu di zaman orde baru, semua organisasi islam bisa berjamaah dalam beried dan puasa, mengpa sekarang tidak?. Agama Islam adalah agama yang mudah. urusan melihat hilal dimudahkan allah swt, melalui syariatNya. Hilal secara bahasa artinya nampak dan tersiar. disebut hilal karena ia tampak dan tersiar di khalayak banyak, jadi bukan sekedar fenomena alam tp juga fenomena sosial. sebagaimana kata bulan dlm bhs arab yaitu syahr, berarti masyhur dan dikenal.
Ukhuwah islamiyah insya allah akan terwujud dengan kembali kepada sunnah yang shahih dengan pemahaman yang shahih sebagaimana yang telah ditempuh para salafusshalih radhiyallahu anhum. wallahu ta’ala a’la wa a’lam.
SukaSuka
Alhamdulillah. Kullil Haq min Robbi.
Saya sependapat Mas Kusnadi tentang kaedah “segala sesuatu yang wajib apabila tidak didukung sarana sehingga tidak sempurna wajib itu maka wajib jugalah sarana itu”.
Terus terang kita (ummat Islam) saat ini kekurangan pendapat ulama salaf yang dapat dijadikan rujukan jika ada masalah-masalah seperti ini setelah 100 – 300 tahun ummat Islam berkembang.
Saya sependapat bahwa tugas penentuan kalender ibadah harusnya dilakukan oleh “ulil amri” atau “waliyyul amri” karena sifatnya yang aam (umum), namun di Indonesia Pemerintahnya seperti tidak punya pendirian. Mereka masih menjaga “unggah-ungguh” (bahasa jawa) karena keterbatasan orang-orang dalam departemen agama kita sendiri, dan ini kenyataan tentang Hisab dan Rukyat. Simposium telah banyak dilakukan, namun belum mencapai titik temu yang pas, sebagaimana Kerajaan Malaysia mengorganisasi Jabatan Agama Islamnya.
Satu lagi, tentang waliyyul amri, ada sebagaian ummat Islam di Indoneisa yang tidak percaya sama sekali dengan pemerintahnya.
Muhammadiyah yang diharapkan menjadi “think tank” memang banyak dikritik terlalu “revolusioner” dalam masalah ini sebagaimana catatan saya sebelumnya, karena negara sekaliber Saudi, Yaman dan Mesir yang punya ulama’ ulama’ besar sebagai rujukan ummat Islam di dunia, belum menggunakan metode hisab seperti yang dilakukan Muhammadiyah untuk menentukan wujudul hilal, kecuali Malaysia, dan Amerika Serikat. Itu kita bisa faham karena meraka masih memegang pendapat dan kukuh mempertahankan apa yang telah disampaikan oleh ulama’ salaf tentang rukyat dan hisab sebagaimana penjelasan Mas Kus diatas.
Saya yakin, jika kita semua berpegang kepada sunnah yang sahih, insya akan ada titik temunya, dan saya percaya akan hal itu…
SukaSuka
Ass, ,mf pak. .saya bngung. .hehehe, ,mgkn saya emang sdikit tulalit x ya. .
Gni, ,gmana si bentuk bulan wkt hilal??seperti bulan sbitkah?sempurna?atau tak brchaya?
Karena,bkany waktu mtahari trbenam itu sejajar atau lurus antara mathari dan bulan, ,wlaupun sdkt prbdan celah sdkit, ,
tp kan mtahari ad dblakang bulan?otmatis dri bumi chaya mtahari trhalang bulan, ,dan bs dblg bulan tak trlhat atau tk brchaya?
Trma kasih pak.
SukaSuka
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Sebelumnya mohon maaf lahir dan batin, taqobalallahu minna wa minkum.
Tentang bentuk bulan saat hilal, bulan tidak bercahaya, namun jika jelas (visible) kita bisa melihatnya dengan mata telanjang karena ada biasan sedikit cahaya dari matahari.
Penjelasan Mas Chandra sudah benar. Bulan tidak bercahaya, dan kalau sabit tipis biasanya umur bulan sudah di hari ke 2-3.
Model modelnya bisa dilihat atau dipasang di HP kita dengan program “MoonPhase”, bisa dicari juga di http://www.getjar.com
SukaSuka
Dulu saya pernah diajari sedikit bagaimana cara minta pendapat atau pertimbangan dengan menggunakan bahasa Arab, kira-kira bunyinya begini, ‘Kaifa ra’yuka ya akhi?’. Juga diberitahu kalau menunjuk sebuah objek di depan mata, maka kita katakan, ‘Undhur tilka as-sayyarah’. Apakah kata Ru’yah dalam penentuan 1 Syawal ini sama dengan kata ‘Ru’yah’ yang meminta pendapat itu? Kalau memang sama, berarti ru’yah ini tidak bisa semata-mata diterjemahkan dengan ‘melihat’ sebagaimana kata ‘melihat’ pada kata ‘undhur’ (nadhara-yandhuru). Melihat disini bisa juga bermakna pada sesuatu yang dapat dihitung (dihisab) sehingga menghasilkan pendapat. Sebagaimana kata Iqra’, bukankah diterjemahkan dengan membaca tanda-tanda melalui ilmu? Wallahua’lam bishawab….
SukaSuka
dulu saya sependapat dengan muhammad burhanuddin… tapi setelah membaca buku “PILIH HISAB RUKYAH” karya Abu Yusuf Al Atsary dan buku “BID’AHKAH ILMU HISAB” karya Ust Ahmad Sabiq Abu ….maaf saya jadi terbuka wawasan ternyata metode hisab dalam penentuan awal puasa dan hari raya itu salah dan keliru…..jadi dari pada berkomentar yang tidak produktif dan mengajak dan menyebarkan pemahaman yang menyesatkan orang….lebih baik simak buku tersebut….Wallahua’lam bishawab.
SukaSuka
alhamdulillah, saya menghargai perbedaan ini. “Mereka bertanya kepadamu (Hai Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan haji;” (Al Baqarah 189)
SukaSuka
Sholat adalah fardhu ‘ain. waktunya mudah diketahui oleh semua orang, yaitu dengan melihat fajar, bayang-bayang, mega merah.
Puasa juga fardhu ‘ain. waktunya juga mudah diketahui oleh semua orang, yaitu dengan ru’yatul hilal.
SukaSuka
setuju dengan ru’yatul hilal saat kondisinya itu memungkinkan termasuk keadaannya…
saya suka…
SukaSuka
“Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementaradi kawasan sebelah barat sudah”
Kaum muslim disunahkan puasa arofah saat orang-orang sedang wukuf di arofah. Ini ajarannya.
Bukan ditentukan oleh ru’yah masing-masing wilayah.
SukaSuka
setuju…
“Mereka bertanya kepadamu (Hai Muhammad) tentang hilal. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan haji;” (Al Baqarah 189)
SukaSuka
Assalamualaikum wr. wb.
Subhanallah, walhamdulillah..
Terimakasih atas ilmunya, insyaallah semuanya baik dan untuk kebaikan..
Akhirnya saya memahami dasar2 atau alasan2 mengenai kedua metode ini, cukup nalar bagi saya..
tetapi ada hal yang sedikit mengganjal bagi saya, coba, mari kita runut sejarahnya, rasul saw dalam melihat hilal mencontohkannya dengan rukyat karena yang paling mungkin saat itu [mungkin] hanya rukyat (OKE saya sepakat).. lalu dalil QS Yunus (10) ayat 5 “Dialah (Allah) yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi peredaran bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (wktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” dijadikan salah satu dasar untuk menentukan hilal dengan hisab (OKE secara nalar awam mungkin dapat saya terima)..
Tetapi hal yang ingin saya tanyakan, kok mengapa hasil hisab bisa berbeda dengan hasil rukyat, adakah ke kurang sempurnaan dalam perhitungan (rumus, metode dsb), saya menilai suatu metode “baru” untuk dapat diterima haruslah menjalani suatu proses pembuktian yang serius, Reaserch and Development yang baik dan berkelanjutan, hingga mendapat suatu hasil yang sempurna (sesuai dengan kenyataan real nya), bila telah mencapai kesempurnaan maka hisab dapat diberlakukan dengan tetap melakukan rukyat (sebatas sebagai kontrol terhadap metode yang kita gunakan).
Singkatnya bila metode ini telah sempurna, kita sebagai muslimin saya kira juga tidak ada salahnya menjadikan hisab sebagai metode utama kita dalam menentukan hilal dengan syarat tetap dilakukan rukyat sebagai kontrol.
Wallahua’lam..
Semoga allah memberkahi kita saudara-saudara ku, bersatulah muslimin..
Masukan dan pendapat lain sangat saya harapkan..
Wassalamu’alaikum wr. wb.
SukaSuka
Mohon pencerahannya..
saya masih sangat awam..
apakah dengan mengganti dari yang telah rasulullah contohkan (dalam melihat hilal) dengan cara rukyat kemudian di ganti dengan hisab (walaupun mungkin nanti hasil nya 100% tepat dan akurat sesuai dengan keadaan sebenarnya “tidak ada perbedaan dengan rukyat”) menjadikan sesuatu kesalahan atau mungkin “pembangkangan” terhadap apa yang rasul kita anjurkan.. ibarat semisal daging babi dikemudian hari menjadi sangat aman utk dikonsumsi, lalu kita meng halal kan nya (nah loh) saya jadi khawatir lama – lama timbul pendapat seperti ini.. naudzubillah
sangat mungkin ada alasan lain dari hanya sekedar “yang paling mungkin saat itu” Rasul memerintahkan kita melihat hilal dengan cara rukyat.. bahkan lebih ditekankan lagi “jikalau kamu tidak dapat melihatnya (terganggu pandangan) maka genapkan bilangan 30 hari”
wallahua’lam..
SukaSuka
Dan yang tak kalah penting semoga umat islam tidak lagi dibingungkan “kapan saya harus memulai puasa, dan kapan saya harus berbuka (ied)” jujur saya merasa prihatin dengan perbedaan seperti ini, istilahnya kok ga kompak. idealnya dalam memutuskan hal seperti ini tidaklah fair jikalau keputusan ini diambil hanya di dasari suatu golongan tertentu, ini masalah ummat, muslim secara luas, seluruh dunia, khawatir jika kita dalam internal saja banyak perpecahan (alih alih dengan kalimat perbedaan itu berkah) padahal dengan perpecahan semakin mudah para kafir menghancurkan kita.. wallahua’lam..
SukaSuka
kalau daging babi sudah jelas – dan tidak bisa diperdebatkan lagi,
masalah rukyat sendiri bukankah juga menimbulkan perbedaan jika di Jakarta bisa melihat tapi di Aceh belum terlihat?
SukaSuka
Menjawab:
“mengapa hasil hisab bisa berbeda dengan hasil rukyat, adakah ke kurang sempurnaan dalam perhitungan (rumus, metode dsb), saya menilai suatu metode “baru” untuk dapat diterima haruslah menjalani suatu proses pembuktian yang serius, Reaserch and Development yang baik dan berkelanjutan, hingga mendapat suatu hasil yang sempurna (sesuai dengan kenyataan real nya), bila telah mencapai kesempurnaan maka hisab dapat diberlakukan dengan tetap melakukan rukyat (sebatas sebagai kontrol terhadap metode yang kita gunakan).”
Jawaban saya:
Hisab dan Rukyat itu sama; bedanya ‘yang saat ini’ terjadi adalah:
a) Rukyat (melihat bulan sudah wujud atau diatas ufuk) jika sudah berada diatas 2 derajat.
b) Rukyat (melihat bulan sudah wujud atau diatas ufuk, dengan cara menghitung secara presisi) dengan mengabaikan batas 2 derajat.
batas 2 derajat adalah ketetapan manusia (supaya mata) bener – bener bisa melihat.
sedangkan hisab yang katanya bid’ah juga merupakan hitungan atau ketetapan manusia , dimana hasilnya kadang-kadang bulan sudah tampak dan dapat dilihat, namun kadang kadang tidak nampak oleh mata manusia karena berada dibawah 2 derajat tadi.
Jadi, sementara ini yang terjadi. Ibaratnya yang satu masih menggunakan speedo meter analog, yang satu menggunakan speedo meter digital.
Salam,
SukaSuka
sederhananya, bila mungkin, metode hisab pun seharusnya juga meng akomodir ketentuan (syarat mata 2 derajat tadi), jadi hasil keluaran hisab itu juga memperhitungkan sebesar apakah hilal nampak. syarat >2 derajat, juga demi mengakomodir anjuran yang telah Rasulullah SAW kepada kita, juga mungkin dapat menjadi solusi keselarasan penentuan bulan di antara umat muslim.
wallahua’lam.
SukaSuka
RUKYAH SAJA NGIKUTIN NABI
SukaSuka
Setuju, sebagaimana juga Nabi membatalkan puasa ketika Nabi bertemu dengan sekelompok orang yang bersaksi telah melihat hilal, sedangkan saat itu Nabi sedang istikmal (membulatkan) bilangan puasa.
Kita ini ribut ketika hari rayanya berbeda,
kalau awal ramadhannya beda saya kira itu tidak perlu dibesar-besarkan. Yang penting puasa ramadhannya tidak kurang dari 29 hari :) betul enggak?
SukaSuka
Ikut nimbrung ya Mas
Saya sih tidak pandai berdalil, tapi saya suka gayanya Muhammadiyah, cerdas. Dia bisa tahu pada tanggal sekian bulan dalam posisi bagaimana, sudut sekian derajat, bisa kelihatan atau tidak dari lokasi tertentu, dan bisa menentukan pada tanggal sekian sebenarnya masih bulan Sya’ban atau Ramadhan, masih bulan Ramadhan atau sudah Syawal, dst…
Maka sisi positifnya seperti yang anta tulis, bisa membuat kalender islam yang tidak tergantung rukyah setiap pergantian bulan, bisa mempersatukan hari raya umat, dsb…
Tapi dalil awal puasa dan hari lebaran ini yang di hadits riwayat Bukhari dan Muslim sudah sangat tegas banget. Malah dibilang, “…jika terhalang maka genapkanlah.” Jadi walopun itu sudah ada hilal, logikanya sudah masuk bulan baru, tapi tidak terlihat karena terhalang, maka masih tetap puasa. Jadi seolah-olah, ga peduli itu sudah ganti bulan, kalau tidak kelihatan hilalnya, masih tetap puasa. Bener ga sih logika saya?
Kemudian tentang arti rukyah, apakah melihat dengan mata, atau melihat dengan yang lainnya (seperti ilmu, teknologi dsb), mesti tanya ahli bahasa Arab kayanya. Tapi teringat sebuah perintah, “Sholluu kamaa roaytumuunii Ushollii”, saya membayangkan para sahabat diperintah untuk melakukan sholat seperti mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana Nabi saw sholat.
Mengenai sisi negatif rukyah di mana bisa terjadi dalam satu hari ada yang masih puasa ada yang sudah lebaran, saya membayangkan umat Islam sedunia kompak. Jadi kalau di Indonesia belum kelihatan hilalnya, tapi beberapa jam kemudian di Asia tengah atau di Arab ada yang melihat, ya berarti hari itu memang sudah ganti bulan. Jadi tidak sebodo amat lu di Arab aja lah yang lebaran, gue di sini masih puasa, kan beda negara, beda wilayah, beda pemerintah. Tapi yang kurang tahu apakah bayangan saya ini bisa diterima secara fiqih atau tidak.
Makasih ya sudah boleh ikut comment, kalau ada kesalahan saya minta maaf, itu semua karena kebodohan saya.
SukaSuka
saya sepakat kalau Islam itu modern dan mampu menjawab tantangan jaman untuk tetap mempersatukan umat. menurut saya metode hisab adalah metode yang tidak terbantahkan dalam hal ini untuk menyatukan umat dalam menentukan waktu-waktu pelaksanaan ibadah mereka dengan dalil2 yang sudah disebutkan diatas. adapun yang dilakukan Nabi SAW itu menunjukkan bahwa melihat hilal itulah yang paling relevan untuk menentukan waktu ibadah umat pada saat itu sabagaimana onta, kuda dan keledai sebagai kendaraan paling relevan untuk berangkat Haji, sedangkan pedang, panah dan tombak untuk berjihad. kalau al-quran mengatakan bahwa matahari dan bulan itu pergerakany matematis berarti hasil hisab dan rukyat pasti sama hanya masalahnya bisa dilihat atau tidak karena adanya keterbatasan kemampuan indra penglihatan kita. kalau alquran mengatakan agar kita menggunakan kuda sebagai kendaraan perang itu artinya saat ini kita gunakan motor, mobil, tank dll yg modern utk jihad tidak harus kuda bukan? kalau Nabi SAW mengatakan ajarilah anak2 kalian memanah itu berarti kita ajari anak2 kita menggunakan AK47 dan sejenisnya bukan? Wallahua’lam
SukaSuka
kalem aja mas, NU memang selalu ketinggalan karena mereka masih taklid… mereka dulu kekeh dengan pembelajaran pesantren dan menyalahkan pembelajaran modern seperti Muhammadiyah, tapi sekarang mereka justru berlomba-lomba membuat sekolah modern… sekarangpun mereka menyalahkan metode hisab suatu saat mereka pasti berlomba-lomba mengikutinya… banyak orang NU (awam) mengatakan puasanya ikut NU tapi lebarannya ikut Muhammadiyah (ini sudah merupakan tanda). metode hisab lebih maju dari pada metode rukyah. ini tidak jauh beda dengan apabila kita melihat ada tahi ayam lalu kita yakin bahwa itu memang tahi ayam (hisab/mengamatinya secara ilmu : bentuk dan jenisnya). tapi rukyah tidak yakin kalo belum menciumnya… jadi pasti ketinggalan satu langkah… Kita yakin bahwa besok adalah lebaran, tapi kita masih tetap berpuasa karena belum melihat bulan… apakah itu tidak menjadikan kita melakukan hal yang haram yaitu berpuasa pada 1 syawal. kita tahu pasti bahwa 10 meter di depan adalah jurang.. tapi dengan metode rukyah harus memastikan dengan melihatnya langsung oh benar bahwa itu adalah jurang… apakah bukan berarti namanya membuang-buang waktu… ngga tahulah mereka selalu kekeh dengan hal-hal seperti itu… tentang tahlilan secara tegas putusan muktamar tahun 1997 PB NU menetapkan hukumnya makruh… eh tradisi itu masih tetap dipertahankan sampe sekarang… imam sapi’i mengatakan dalam kitabnya Al-Um bahwa makan-makan di rumah kematian haram hukumnya.. juga masih dilakukan mereka sampe sekarang… mereka juga tahu bahwa mengkijing kuburan itu tidak boleh… para ulama mereka dikijing semua kuburannya… lalu apa maksudnya semua ini…. mas kus dan lainnya terbukalah pada pembaruan… Nabi saja mau mendengar para sahabatnya dan menurutinya tentang strategi perang… kenapa kamu sekalian yang manusia biasa tidak mau mendengar dan bahkan kekeh dengan keyakinannya yang belum tentu benar!
SukaSuka
HATI-HATI BANG JANGAN BAWA-BAWA ORGANISASI
SukaSuka
Ijin share Pak ….
SukaSuka
Aslm wrwb. saya kutip ya perkataannya ya, akhi… krn sy lihat ada hal yg sangat mendasar tp efeknya akhi jadinya menyimpang deh : #1. “Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan).” –> Ini yg diikuti? knp bukannya mengikuti Qur’an, Hadis, Ijma, Qiyas?
#2. “Persoalannya apakah penentuan ‘awal’ dan penentuan ‘akhir’ tersebut termasuk dalam hal ranah ibadah? seperti kita melakukan ibadah puasa tersebut atau melakukan sholat, atau melakukan haji?” —> Kalau bukan ibadah, jd apa ya? muamalah maksudnya? emang definisi ibadah yg dimkasud apa?
SukaSuka
Wa’alaikum salam Mas Ikhsan; warahmatullahi wabarakatuh.
SOAL #1:
Tentang perintah beralasan (ber-ilat), kita mesti tahu dulu maksud dari ‘illat’ itu apa. Illat menurut Taqiyuddin An Nabhani adalah suatu perkara yang karenanya suatu hukum disyariatkan (asy syai`u alladzi min ajlihi wujida al hukmu). Atau dengan kata lain, illat adalah suatu perkara yang menjadi motif/latar belakang penetapan (pensyariatan) suatu hukum (al amru al baa’itsu ala al hukm). Illat disebut juga ma’quul al nash, dalam arti illat itulah yang menjadikan akal menghukumi masalah cabang dengan hukum yang ada pada masalah pokok, karena masalah pokok dan masalah cabang mempunyai illat yang sama.
Illat merupakan jawaban dari pertanyaan mengapa suatu hukum disyariatkan. Jawaban inilah yang oleh para ulama ushul disebut dengan istilah washfun munasibun, yaitu sifat (makna) yang sesuai yang menjadi latar belakang penetapan hukum, atau washfum mufhamun, suatu sifat (makna) yang dapat dipahami sebagai latar belakang penetapan hukum. Sifat (makna) ini harus sedemikian rupa sehingga memberikan pengaruh (atsar) pada hukum.
Disini; mengikuti Al-Qur’an jelas dan harus (Wajib hukumnya);
Merujuk Hadist, itu mesti (jangan sampai kita menggunakan hadist palsu yang bukan dari Nabi Muhammad s.a.w.) Hadist dhaif masih bisa digunakan sebagai referensi selama masih ada sunnah didalamnya. Karena hadist saja belum tentu ada sunnahnya. Dan Sunnah dalam hadist ada macam-macamnya, seperti: Sunnah Qouliyah, Fi’liyah, Taqririyah, dan Hammiyah.
Ijma’ adalah Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad) dari ummat Muhammad SAW setelah wafat beliau dalam suatu waktu dari beberapa waktu dan atas sesuatu perkara/masalah dari beberapa masalah. Sedangkan qiyas adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada ketentuan hukumnya oleh Nash (Al Quran dan As Sunnah) disebabkan adanya persamaan illat antara keduanya.
Jumhur ulama memandang bahwa Qiyas merupakan salah satu di antara dalil syar’i (sumber hukum) yang menduduki martabat keempat dari dalil-dalil syar’i setelah Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma’. Qiyas digunakan ketika pada suatu fakta tidak didapati hukum dari nash-nash Al Qur`an, As Sunnah, atau Ijma’. Jika hukum syara’ atas suatu fakta ditetapkan melalui nash dan didasarkan pada suatu illat (motif penetapan hukum), maka hukum syara’ itu dapat diterapkan pada fakta lain –yang tidak ada nashnya– yang memiliki illat yang sama.
Dalam konteks diatas, maka Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa kapasitasnya memberikan penjelasan kepada kita berdasarkan pengetahuannya tentang perintah berillat tersebut. Wallahu’alam :)
SOAL #2:
Tentang penentuan ‘awal’ dan penentuan ‘akhir’ sebuah waktu: Menurutmu, saat kita menentukan awal waktu sholat dhuhur disebuah kapal ditengah laut, tanpa jam, tanpa GPS, maka, apakah menentukan waktu sholat dhuhur itu masuk dalam ranah ibadah sholat? Begitulah maksud dari kalimat soal No. 2 tersebut.
Menentukan Waktu Sholat itu adalah ibadah lain… Sedangkan Melakukan Sholat itu adalah ibadah lain yang disebut dengan Ibadah Mahdhah, yaitu aktivitas atau perbuatan yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Maksudnya syarat itu adalah hal-hal yang perlu dipenuhi sebelum suatu kegiatan ibadah itu dilakukan. Sedangkan rukun itu adalah hal-hal, cara, tahapan atau urutan yang harus dilakukan dalam melaksanakan ibadah itu.
Salam
SukaSuka
ada illat ya ibadah mahdhoh? boleh dong bagikan tulisan refnya… :) yg detil kl ada mas
kamu khan nulis: ibadah –> sudah ditentukan syarat dan rukunnya. tentu ini harus manshus = berdasarkan nash, bukan akal. dan kusnadi di awal sdh ingatkan nashnya, ngasih tau hadis: bahwa untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan itu dengan 2 cara:
1. Ru’yatul hilal (melihat hilal dengan mata). Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”
Juga hadits yang terdapat dalam Shahihain, dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhu , Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya”
2. Jika hilal tidak nampak, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوماً
“(Jika hilal tidak tampak), genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari
–>sdh jelas perintah melihat bulan itu yg jelas2 dikhususkan untuk ibadah shaum itu = ibadah mahdhah = sebab shaum ramadhan.
SukaSuka
menurut saya, sudah jelas dong. semua ibadah harus ada ilat-nya, termasuk juga ibadah mahdoh. perintah, dasar itulah ilat(alasan)nya.
saya setuju bahwa puasa diawali dengan ‘menyaksikan’ (syahidah) bulan. ‘Menyaksikan’ itu bisa dengan melihat langsung, menghitung, membaca bukti, atau bahkan dengan mendengar. Cara melihat (rukyah) itu termasuk dalam kategori menyaksikan (syahidah). Begitu juga dengan dengan menghitung (hisab) termasuk dalam salah satu cara untuk menyaksikan bulan. Analoginya simple saja, bagaimana bulan bisa dilihat jika tidak dihitung dulu?
Perbedaannya disini hanya, hitung dulu baru dikonfirmasi… atau konfirmasi dulu baru dihitung. Konfirmasi disini artinya melihat. Melihat dengan mata kepala sendiri juga ada kemungkinannya, yang disebut dengan “imkan rukyat”, dimana ada posisi tertentu (misalnya berapa derajat) bulan bisa dilihat. Bedanya, jika menggunakan hitungan, presisi (ketepatan) sudah jelas terhadap parameter atas bulan baru.
Perbedaannya kemudian muncul adalah, manusia membuat standar sendiri misal 2 derajat, 4 derajat, atau 6 derajat agar bulan bisa dilihat dengan mata kepala sendiri. padahal 2 derajat, 4 derajat, dst itu sudah lebih dari 0 derajat dan yang lebih penting lagi adalah Ijtimak (konjungsi bulan) telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam… yang dalam istilah kemudian menjadi “wujudul hilal”.
Begitu penjelasan dari saya…
Saya sependapat dengan kata KH. A. Ghazali Masroeri (Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama) bahwa yang menyaksikan hilal (untuk patokan) haruslah bisa ilmu hisab… :)
SukaSuka
sy jd yakin. Al qur’an sbg pedoman utama..
ilmu hisab lebih pasti dan tak meragukan, yang yakin rukyat, silahkan..yang penting tidak ada keraguan..
SukaSuka
Howdy, I’m new to running a blog and internet sites in general and was wanting to know how you got the “www” included in your domain name? I see your domain name, “https://alvinburhani.wordpress.com/2011/07/16/hisab-atau-rukyat/” has the www and my web address looks like, “http://mydomain.com”. Do you know the best way I can alter this? I’m using WordPress. Many thanks
SukaSuka
pengamatan hilal itu khusus untuk puasa ramadan, untuk bulan yang lainnya dalam kalender hijriah cukup dilakukan hisab saja. tetapi titik nol perjalanan bulan mengelilingi bumi menurut ilmu agama bukan pada cunjungsi.demi jelasnya baca rotasi bulan.blogspot.com.bakrisyam
SukaSuka
trima kasih
SukaSuka
rotasibulanblogspot.com mohon tanggapannya dong. terimakasih
SukaSuka
Setuju dg Pak Bakri Syam tapi ditambah dg 1 Syawal. Ini adalah Sunnah yg dilakukan juga oleh para salaf sebagai generasi terbaik. Para Ulama Salaf tidak ada yg menafsirkan atau merayu hadits ttg Rukyah ini dg hisab.
SukaSuka
hmmm jadi yg bener itu pemerintah ya…
SukaSuka
Kita kan hidup dinegara, biarkan saja pemerintah yang menentukan toh mereka juga dengan pengkajian yang benar juga
SukaSuka
terimakasih atas informasinya :)
SukaSuka
terimakasih telah memberikan ruang atas informasinya
SukaSuka
thanks gan informasinya
SukaSuka
terimakasih atas informasinya gan
SukaSuka
terimakasih telah berbagi ruang informasinya
SukaSuka
yang penting tidak menyimpang dari agama islam aja
SukaSuka
thanks gan informasinya.. semoga bermanfaat buat kita semua. AAmiin
SukaSuka
Infonya sangat bagus sekali. terimakasih telah berbagi
SukaSuka
terimakasih telah berbagi, semoga bermanfaat
SukaSuka
Rukyat murni dan Hisab kedua duanya memiliki prinsif dan argumen. Mari jalankan sesuai dg pengetahuan dan keyakinan. Satu hal yg saya ingatkan. Kepada kedua pihak yg berbeda pendapat jangan menuduh satu sama lain fihak krn dorongan nafsu dan akal akalan. Saya mendapati bbrp komentar di atas ada nuansa bahwa yg dilakukan kelompok Hisab krn didorong nafsu dan melecehkan Agama ! Sejauh dan sebiadab itukan bersusah payah metode hisab digulirkan ??? Coba berfikir dan Tasamuh ! Keduanya saya yakin, mrk (yg berbeda) mencari dan menggali utk mencari kebenaran dan solusi. Ada bbrp kesimpulan kedepan nantinya; 1. Bisa saja metode Hisab akan ditinggalkan atau 2. Metode Rukyat yg akan digantikan 3. Terjadi asimilasi atau akulturasi keduanya.Seperti shalat Tarawih terjadi akulturasi bukan saja diantara ummat yg berbeda saling menghargai malah yg 23 rakaat dan 11 rakaat bisa bareng 1 mesjid. Kita tunggu saja bbrp puluh th kedepan. Jangan mengeksploitasi ummat. “ummat bingung, ummat bingung…!!! Ummat tdk bingung !!! yg bingung mah elo elo yg di atas
SukaSuka