Salah satu saat Muhammadiyah naik di media massa adalah ketika menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan hali ni pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidak patuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga sindiran tidak mau mengikuti Rasullullah s.a.w. yang jelas memakai rukyat al-hilal. Dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada juga yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.

Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits  Rasulullah s.a.w. yaitu dari Abu Hurairah RA:

فصوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته وإن غم عليكم فاقدروا له ثلاثين

“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Imam Bukhari dan Muslim).

Dari Hadits tersebut secara gamblang menguatkan penggunaan rukyat dalam menentukan awal puasa atau idul fitri, dan hal itulah yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada Rasulullah s.a.w.

Pertanyaannya lalu, mengapa harus memakai metode hisab?

Secara harfiah, hisab bermakna perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah.

Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).  Nah, berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:

1) Rukyatul Hilal

Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.

Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:

“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)”.

Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah Indonesia, dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya serta mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Namun bagaimanapun, metode hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.

2) Wujudul Hilal

Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.

Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur’an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra’: 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 39-40.

Benang Merah

Dari keterangan-keterangan diatas, maka kita melihat ada semangat Al Qur’an untuk menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat:

ٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُ بِحُسۡبَانٍ۬

“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (Ar Rahman: 5).

Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ ٱلشَّمۡسَ ضِيَآءً۬ وَٱلۡقَمَرَ نُورً۬ا وَقَدَّرَهُ ۥ مَنَازِلَ لِتَعۡلَمُواْ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلۡحِسَابَ‌ۚ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ ذَٲلِكَ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ‌ۚ يُفَصِّلُ ٱلۡأَيَـٰتِ لِقَوۡمٍ۬ يَعۡلَمُونَ

“Dialah (Allah) yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi peredaran bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (wktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”

Jika spirit Qur’an diatas adalah hisab lantas mengapa Rasulullah s.a.w menggunakan rukyat?

Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Maksudnya adalah dalam hal ini yang berlaku adalah kaidah ushul fikih yang mengatakan ‘al-hukmu yadûru ma’a ‘illaitihi wujûdan wa ‘adaman’, dimana saat itu fasilitas yang dimiliki oleh peradaban Islam di Madinah barulah rukyat. Penafsiran ini bisa dihubungkan dengan hadist lain; ‘innâ ummatun ummiyah, lâ naktub wa lâ nahsub’. Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi s.a.w. adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Rasulullah Saw dalam sebuah hadit mengatakan:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تَمَامَ الثَّلاَثِيْنَ

“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)

Pertanyaanya, bukannya hadist diatas justru Nabi menjelaskan bahwa hisab tidak boleh dipakai?

Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya illat. Jika ada illat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat.

Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

Tahukah kita bahwa dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender?

Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

Jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.

Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementaradi kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat.

Perintah rukyat yang diturunkan oleh nabi di hadapan masyarakat Islam Madinah merupakan sebentuk perintah yang lahir sebagai respon atas realitas sosial masyarakat Madinah saat itu. Kebetulan yang dihadapi Rasulullah pada saat itu adalah masyarakat Madinah, maka rukyat dalam pengertian saat itu adalah melihat dengan mata telanjang, karena lebih cocok bagi masyarakat madinah yang berbasis agraris, dan bagi masyarakat petani, fenomena alam merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupannya. (Dr. Susiknan Azhari M.A. dalam bukunya Hisab dan Rukyat, Wacana Untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan)

Penentuan awal bulan hijriyah sudah masuk ke domain aktivitas ta’aqquli  (yang bisa diketahui dengan akal), sehingga otomatis rukyat bukanlah ibadah. Dalam ranah pemikiran hadist ada klasifikasi al-sunnah al-tasyri’iyah dan al-sunnah ghairu tasyriiyah. Tidak semua yang datang harus terus diikuti sepanjang masa dan di semua tempat. Bahkan di antara sunnah tersebut ada yang hanya khusus untuk nabi sendiri. Istilahnya itu ada sunnah yang ta’abudi dan sunnah yang ta’aqquli.

Catatan:

Muhammadiyah memang menarik, dimana Muhammadiyah dengan semangat pembaharuan (tajdid) nya meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah salah satu wasîlah yang bisa digunakan untuk beribadah, sehingga dimensi normatif dari nash-nash al-Quran bisa selalu dikaitkan dengan dimensi ideal peradaban manusia.

Dalam tataran teoritis Muhammadiyah memang meletakkan hisab dan rukyah secara sejajar. Hanya saja dalam wilayah praksis, Muhammadiyah memandang bahwa hisab sudah cukup mewakili sehingga rukyah jarang sekali dipraktekkan.

Kecendrungan untuk meletakkan hisab lebih tinggi dari rukyah dalam Muhammadiyah sebenarnya sudah ada sejak jauh-jauh hari. Namun belakangan kecendrungan ini semakin menguat melalui terbitnya buku terbaru ketua Majelis Tarjih dan Tajdid yang berjudul “Hisab Awal Bulan Kamariyah Perspektif Muhammadiyah” yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah. Di samping karena hisab itu sudah sangat qathiy (disebut ‘sudah’ karena pernah tidak qathiy dalam Muhammadiyah), juga karena berdasarkan prinsip dalil-dalil syari’, hisab cenderung lebih kuat dari pada rukyah.

Keberanian Muhammadiyah untuk memegang konsep ini sebenarnya tergolong revolusioner karena di beberapa negara arab sendiri kecendrungannya masih bermacam-macam. Arab Saudi sampai detik ini masih berjuang untuk terlepas dari kungkungan konservatisme dan skriptualisme. Mesir baru sampai kaidah “al-hisâb al-daqîq lâ yata’ârad ma’a al-ruqyah al-sahihah”.

Hisab terlalu pasti (qathiy) untuk ditolak; qathiy min haistu ad-dalil al-syari (dari segi dalil syari) wa min haistu natijah (dari segi konklusi matematis). “al-shaumu wa’l fitru bil rukyah, wa lâ mânia bil hisâb” (Puasa dan berbuka dengan cara rukyah, akan tetapi tidak masalah jika menggunakan hisab).

Referensi: