Izinkanlah saya mengambil/mengutip jawaban KH. A. Mustofa Bisri, jika Qunut memang masalah khilafiyah yang ‘usang’. Dari dulu hingga sekarang –sungguh mengherankan– tak bosan-bosannya orang mendebatkannya. Selalu saja muncul dari masing-masing pihak yang berbeda, orang yang berlagak bisa menghentikan perdebatan dengan hanya mengulang argumentasi pihaknya sendiri (karena mungkin hanya itu yang paling dikuasai) dan mengulang-ulang kecaman kepada pihak yang berbeda, tanpa menyadari bahwa pihak lain pun dapat berbuat seperti dia. Ini sungguh perbuatan yang hanya membuang-buang energi. Soal khilafiyah, perbedaan pemahaman dan pendapat adalah soal “kepala” bukan soal “rambut”. Kalau soal rambut, yang tidak hitam bisa dicat hitam semua. Kalau soal isi kepala, Tuhan sendiri tidak menghendakinya sama kan? (KH. A. Mustofa Bisri)

حدثنا عمرو بن علي الباهلي ، قال : حدثنا خالد بن يزيد ، قال : حدثنا أبو جعفر الرازي ، عن الربيع ، قال : سئل أنس عن قنوت النبي صلى الله عليه وسلم : « أنه قنت شهرا » ، فقال : ما زال النبي صلى الله عليه وسلم يقنت حتى مات قالوا : فالقنوت في صلاة الصبح لم يزل من عمل النبي صلى الله عليه وسلم حتى فارق الدنيا ، قالوا : والذي روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قنت شهرا ثم تركه ، إنما كان قنوته على من روي عنه أنه دعا عليه من قتلة أصحاب بئر معونة ، من رعل وذكوان وعصية وأشباههم ، فإنه قنت يدعو عليهم في كل صلاة ، ثم ترك القنوت عليهم ، فأما في الفجر ، فإنه لم يتركه حتى فارق الدنيا ، كما روى أنس بن مالك عنه صلى الله عليه وسلم في ذلك وقال آخرون : لا قنوت في شيء من الصلوات المكتوبات ، وإنما القنوت في الوتر

Diriwayatkan dari Umar bin Ali Al Bahiliy, beliau berkata:  dari Khalid bin Yazid, beliau berkata: dari Abu Jaafar Arraziy, dari Arrabi’, beliau berkata: “Anas ra ditanya tentang Qunut Nabi saw bahwa apakah betul beliau saw berqunut sebulan, maka berkata Anas ra: Beliau s.a.w.  selalu terus berqunut hingga wafat, lalu mereka mengatakan bahwa Qunut Nabi s.a.w. pada shalat subuh selalu berkesinambungan hingga beliau saw wafat, dan mereka yang meriwayatkan bahwa Qunut Nabi saw hanya sebulan kemudian berhenti maka yang dimaksud adalah Qunut setiap shalat untuk mendoakan kehancuran atas musuh musuh, lalu (setelah sebulan) beliau s.a.w berhenti, namun Qunut di shalat subuh terus berjalan hingga beliau saw wafat. (Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 2 hal 211 Bab Raf’ul yadayn filqunut, Sunan Imam Baihaqi Al kubra Juz 3 hal 41)

Diatas adalah salah satu contoh dari hadist yang dipakai oleh sebagian ulama’ untuk menguatkan posisi qunut dalam sholat subuh, dan banyak penjelasan yang ditulis oleh para ulama’ terdahulu yang semuanya berasal dari jalan Abu Ja’far Ar-Razy, dari Ar-Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik.

Dari sini, ada yang lebih ahli dalam mengkaji apakah sanadnya sahih, dikritik alias mutakallamun fihi, termasuk meneliti apakah ada orang-orang yang masuk dalam golongan lemah ingatannya, banyak salahnya, jelek hafalannya atau masyhur dengan hal-hal yang mungkar, maka saya bukan orang yang kompeten untuk membuat keputusan.

Qunut Dalam Sholat Sunnah

Kemudian, anggaplah dalil mereka itu shahih dan dapat dipakai berhujjah, maka segera akan ada perbedaan pandangan tentang istilah qunut tersebut. Karena secara bahasa, qunut mempunyai banyak pengertian dan bisa jadi lebih dari 10 makna seperti:

  1. Doa.
  2. Khusyu’.
  3. Ibadah.
  4. Taat.
  5. Menjalankan ketaatan.
  6. Penetapan ibadah kepada Allah.
  7. Diam.
  8. Shalat.
  9. Berdiri.
  10. Lamanya berdiri.
  11. Terus menerus dalam ketaatan

Yang menarik lagi adalah Nabi Muhammad s.a.w. memang melakukan Qunut sebagaimana diriwayatkan oleh  Abu Hurairah riwayat Bukhari-Muslim,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika selesai membaca (surah pada rakaat kedua) dalam shalat Fajr kemudian bertakbir lalu mengangkat kepalanya (i’tidal), berkata, ‘ Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu,’ lalu beliau berdoa dalam keadaan berdiri, ‘Ya Allah, selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah, dan orang-orang yang lemah dari kaum mukminin. Ya Allah, keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadikanlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakwan, dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Kemudian sampai kepada kami kabar bahwa beliau meninggalkan doa tersebut tatkala telah turun ayat, ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.’.”

Dan bagaimana dengan bacaan do’anya apabila kita melakukan qunut (dalam hal ini berdiri lama setelah i’tidal)?

Rasulullah s.a.w. memang mengajarkan do’a seperti dibawah ini sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan Imam Abu Dawud:

أَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ

Dan dalam hal ini kita bisa tahu bahwa do’a qunut tersebut adalah do’a qunut dalam sholat witir yang terkenal, yang Nabi ajarkan kepada al Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a. Maka oleh karenanya menggunakan do’a tersebut dalam shalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebab-sebab itulah saya tidak melakukan ‘qunut’ (berdiri lama setelah i’tidal rakaat ke dua dan membaca do’a, “allahummah dinii fiman hadait…”) dan selalunya dalam sholat subuh saya lebih memilih bacaan surat-surat panjang dalam setiap rakaatnya sebagai penjabaran maksud dari qunut itu sendiri.

Saya melakukan qunut dalam sholat witir ketika menjadi makmum di Masjidil Haram (Makkah Al Murramah) atau di masjid lain selain sholat wajib dan saya insya Allah akan melakukan qunut jika negeri saya dilanda bencana, atau sebab-sebab lain yang menyangkut kepentingan ummat Islam secara global.